Dilema Generasi Z: Antara Pendidikan, Pekerjaan, dan Zona Nyaman
Sumber Foto Ayo Jakarta.Com
Beberapa jagat platpom media sosial diramaikan oleh Generazi Z tidak sekolah dan tidak bekerja. Fenomena generasi Z yang menganggur dan tidak sekolah kian marak di era digital ini. Kompleksitasnya menuntut analisis mendalam untuk memahami akar permasalahannya dan merumuskan solusi yang tepat. Padahal umur masa masa generasi saat ini masa masa produktif, masa-masa dalam fase perkembangan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh BPS 9,9 juta generasi di Indonesia tidak bekerja dan tidak sekolah, padahal kegiatan pendidkan dan mempunyai aktivitas kerja dipandang diantara salah satu kegiatan produktif, bisa memberikan income secara ekonomi, atau aktifivtas dalam pendidikan akan memberikan beberapa skil kompetensi dan keilmuan dengan berada jalur pendidikan seseorang diharapkan mendapatkan penghasilan saat terjun dalam dunia kerja. Hal ini selaras dengan asumsi dasar teori Human Capital seseorang bisa meningkatkan income (pendapatannya) melalui jalur pendidikan.
Begitu juga sebaliknya, para generasi Z yang tidak bersekolah dan tidak bekerja dianggap tidak produktif karena potensi skil yang dimiliki tidak diberdayakan, Kondisi ini dimonitor dalam salah satu indikator dalam Sustainable Development Goals (SDGs) yaitu persentase usia muda (15-24 tahun) yang sedang tidak sekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan (Not in Employment, Education, and Training/NEET). Menurut hemat penulis ada beberapa faktor penyebab Generasi Z mengalami streotip seperti yang sedang ramai diperbincangkan.
Pertama, faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu utama. Kemiskinan, pengangguran orang tua, dan akses pendidikan yang terbatas memaksa generasi Z untuk mencari nafkah, alih-alih menempuh pendidikan. Ketidakmampuan finansial mendorong mereka untuk bekerja demi membantu keluarga, meskipun tanpa pendidikan formal.
Kedua, faktor teknologi tak kalah berperan. Generasi Z yang terpapar internet sejak dini terbiasa dengan dunia digital dan mudah terpengaruh oleh konten-konten negatif. Keinginan untuk mendapatkan penghasilan cepat melalui platform online tanpa pendidikan formal menjadi daya tarik bagi mereka.
Ketiga, faktor psikologis pun turut berkontribusi. Rasa cemas, depresi, dan kurangnya motivasi belajar dapat memicu apatisme dan membuat mereka enggan untuk bersekolah atau bekerja. Kondisi mental yang terganggu dapat menghambat mereka untuk mencapai potensi diri secara maksimal.
Dampak fenomena ini tak hanya dirasakan individu, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Bagi individu, masa depan mereka terhambat, rentan terhadap kriminalitas, dan mengalami beban psikologis. Keluarga pun menanggung beban ekonomi dan sosial, serta keretakan hubungan. Sedangkan bagi masyarakat, fenomena ini dapat meningkatkan angka kriminalitas, membebani sistem sosial, dan menghambat pembangunan bangsa.
Menangani fenomena ini membutuhkan solusi komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Meningkatkan akses pendidikan dan menciptakan lapangan kerja yang layak menjadi langkah awal. Penting pula membangun program pembinaan dan pemberdayaan bagi generasi Z yang menganggur dan tidak sekolah untuk membangkitkan minat dan motivasi mereka. Peran keluarga dan masyarakat dalam memberikan bimbingan dan dukungan juga tak kalah penting.
Upaya pencegahan pun tak boleh diabaikan. Edukasi dan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan dan pekerjaan perlu digencarkan. Kerjasama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam membangun lingkungan yang kondusif dan suportif bagi generasi Z pun menjadi kunci untuk memutus mata rantai fenomena ini.
Dengan pemahaman yang komprehensif dan solusi yang tepat, diharapkan fenomena generasi Z menganggur dan tidak sekolah dapat diatasi dan generasi ini dapat menjadi generasi penerus bangsa yang produktif dan berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Salam sukses penuh berkah. Amin..
Posting Komentar untuk "Dilema Generasi Z: Antara Pendidikan, Pekerjaan, dan Zona Nyaman"