Generasi Sholihan Fi Kulli Zaman
Beberapa kali saya menghadiri event konferensi di berbagai tempat, dan dalam kesempatan tersebut, saya sering bertemu dengan Mahasantri (mahasiswa santri) yang kuliah di berbagai kampus, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Mayoritas dari mereka adalah para santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren, bahkan banyak di antaranya yang sudah berkiprah sebagai tenaga pengajar. Ketika bertemu sesama santri yang sedang kuliah, kami langsung akrab dan berdiskusi mengenai berbagai hal, mulai dari dinamika pesantren, pemikiran para tokoh, manhajul fikr, hingga paradigma pendidikan dan perkembangan teknologi.
Banyak teman-teman santri yang memilih jurusan-jurusan umum, seperti kedokteran, psikologi, biologi, dan teknologi digital. Kaum sarungan ini memilih untuk mendalami kompetensi keilmuan umum dan sains sebagai pelengkap kajian kitab kuning yang mereka tekuni selama nyantri. Sebagai generasi milenial yang tumbuh dalam ekosistem globalisasi, mereka berani memperkaya keilmuan keagamaan yang dimiliki dengan kompetensi keilmuan dunia kampus. Harapannya, di masa depan akan muncul ahli kedokteran yang santri, ahli teknologi digital santri, dan berbagai ahli lainnya sesuai dengan perkembangan dunia yang terus bertransformasi.
Keaktifan para santri dalam mempelajari berbagai macam keilmuan ini berhasil menghilangkan stigma negatif yang berkembang pada tahun 70-an, saat pesantren mulai mengintegrasikan ilmu agama dengan pendidikan sains. Para santri yang berani berpikir kritis dan berinovasi mengikuti perkembangan zaman, khususnya dalam era informasi dan digitalisasi, perlu diapresiasi. Terlebih lagi, dukungan dan rekognisi dari pemerintah terhadap pendidikan pesantren sangat penting untuk mendukung perkembangan ini.
Dengan dibukanya berbagai beasiswa yang dikhususkan untuk para santri, serta terkoneksinya keilmuan yang dimiliki oleh santri, hal ini menjadi investasi berharga dalam mewarnai peradaban di masa depan. Keaktifan para santri dalam tradisi multidisiplin keilmuan memberikan secercah harapan, bahwa pesantren, yang dikenal dengan pendidikan tradisionalisnya dan intensitas tinggi dalam mengkaji ilmu keislaman, akan berkembang menjadi lebih komprehensif.
Dengan pendekatan keilmuan seperti Ushul Fiqh, Ilmu Mantiq, Ilmu Semantik, Nahwu Balaghah, dan Ilmu Tafsir, pesantren dapat menyelaraskan kajian-kajian klasik ini dengan pemikiran dan kajian keilmuan yang lebih progresif. Hal ini membuka peluang bagi pesantren untuk menghasilkan generasi santri yang tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu berkontribusi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan dampak positif bagi peradaban masa depan.
Keterlibatan santri dalam menggeluti berbagai disiplin ilmu di atas, dengan pengetahuan keagamaan yang mengakar, akan melengkapi perkembangan ilmu dan teknologi. Sebab, ilmu dan teknologi, tanpa didasari oleh ajaran agama yang kaffah, akan mengalami krisis makna dan energi. Tanpa panduan moral dan etika yang dihasilkan dari ajaran agama, ilmu pengetahuan bisa kehilangan arah dan tujuan yang lebih besar. Hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Dr. Mujammil Qomar, M.Ag, dalam bukunya Pendidikan Islam Multidispliner, Interdisipliner, dan Transdisipliner, yang menekankan pentingnya integrasi antara ilmu pengetahuan dan ajaran agama agar keduanya dapat berkembang secara harmonis dan memberikan kontribusi yang bermakna bagi kemajuan peradaban.
Dengan begitu, tantangan pendidikan para santri ke depan adalah bagaimana mereka dapat mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu untuk membangun kerangka berpikir yang futuristik, terorganisir, dan sistematik, sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab, di masa depan, pertarungan yang dihadapi (pertempuran pemikiran) Ghazwatul Fikr. Kaum sarungan harus mampu memenangi pertarungan ini, yang merupakan tantangan paling kompleks, agar tetap dapat memberikan kontribusi yang berarti, baik secara praktis maupun teoretis. Dengan demikian, mereka akan terus menjadi generasi yang sholihan fi kulli zaman (bermanfaat di setiap zaman), yang mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan keteguhan nilai-nilai keagamaan.
Sudah semestinya santri masa depan menguatkan imajinasi global secara produktif, konstruktif, dan progresif agar mampu tampil dalam ruang-ruang pergulatan keilmuan di kancah global. Itulah yang juga ditegaskan dalam rumusan muktamar pemikiran NU (1–3 Desember 2023) yang mengambil tema Imagining the Future Society.
Sebagai solusi untuk menghadapi tantangan tersebut, para santri perlu memperkuat kemampuan mereka dalam mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu duniawi secara seimbang. Hal ini sejalan dengan prinsip yang diajukan oleh Imam Al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulumuddin, yang menyatakan bahwa ilmu agama dan ilmu dunia harus berjalan beriringan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagaimana beliau menegaskan, "Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mendekatkan kita kepada Allah, baik itu ilmu agama maupun ilmu dunia." Oleh karena itu, santri harus terus memperdalam ilmu agama mereka sebagai landasan moral, sambil memperluas wawasan dalam bidang-bidang lain yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dengan pendekatan ini, mereka akan mampu menjawab tantangan gazwatul fikr dan berkontribusi secara nyata dalam membangun peradaban yang lebih maju, beradab, dan penuh berkah. Agar terus menjadi generasi Sholihan Fi Kulli Zaman.
Posting Komentar untuk "Generasi Sholihan Fi Kulli Zaman"