Konsistensi Menulis
Sejak dahulu, catatan Dahlan Iskan di koran
Jawa Pos merupakan salah satu bacaan favorit saya. Saya sering membaca
sambil berdiri di majalah dinding (MADING), yang menjadi satu-satunya sumber
informasi tentang dunia luar yang dapat diakses oleh para santri. Setiap sore,
petugas dari perpustakaan Al-Badar menggantinya, dan para santri pun menunggu
dengan antusias, terutama untuk mendapatkan berita terbaru tentang olahraga,
yang menjadi bacaan utama bagi santri yang sangat menyukai bola. Saya biasa
mencari bagian koran yang tidak begitu ramai, terutama yang terdapat
gambar-gambar menarik. Salah satu bacaan yang saya tunggu-tunggu adalah catatan
Dahlan Iskan di halaman pertama, serta opini dan catatan tentang Suramadu yang
berisi tulisan dari santri-santri Madura. Kenikmatan membaca kadang juga datang
dari koran yang telah digunakan sebagai bungkus nasi, yang mengingatkan saya
akan pengalaman sederhana namun penuh makna.
Membaca tulisan Dahlan Iskan mungkin pada
waktu itu tidak sepenuhnya paham, tetapi saya sangat tertarik dengan
kenyataan bahwa beliau bisa menulis dengan tulisan yang lumayan panjang setiap
hari. Kolom OPINI yang biasa diisi oleh akademisi tingkat tinggi, serta rubrik
Suramadu yang sering menampilkan tulisan-tulisan santri-santri pulau Madura, salah satunya dari kakak senior seperti
Afifi Al-Haytami, juga menjadi bacaan yang menarik. Saya terkesan
dengan bagaimana Afifi Al-Haytami sering muncul dengan foto dan identitas
dirinya, memberikan kesan bahwa penulisannya begitu nyata dan personal.
Afirmasi dalam batin muncul: "Saya juga harus bisa menulis
seperti ini." Saya kagum dengan pilihan diksi kata, susunan yang
sistematis, dan alur tulisan yang enak dibaca.
Kebiasaan Dahlan Iskan yang menulis setiap
hari di Harian Disway tetap menjadi bacaan favorit saya, yang kini bisa diakses melalui website beliau. Keistiqomahan beliau dalam menulis tanpa
jeda, apa pun yang dilihatnya selalu menjadi ide besar untuk dituangkan dalam
tulisan, sangat menginspirasi. Tidak jarang, tulisan-tulisannya
mendapatkan respons positif melalui komentar-komentar yang dipilih oleh Dahlan
Iskan sendiri. Sudah tak terhitung jumlah tulisan beliau, dan ini menjadi hal
yang menarik untuk dicontoh—bagaimana beliau bisa menjaga konsistensi dalam menulis
tanpa jeda, meskipun dengan jadwal yang padat.
Saya pun teringat perkataan Sayyidina Ali yang
menyarankan agar seseorang yang ingin memahami ilmu dengan lebih baik untuk
menuliskannya: "Tulislah ilmu, karena menulis itu mengikatnya."
Pernyataan ini menggambarkan bahwa menulis adalah cara yang sangat efektif
untuk mengikat ilmu dalam ingatan dan hati. Dengan menulis, kita tidak hanya
bisa menyimpan informasi untuk dikaji ulang, tetapi juga bisa berbagi
pengetahuan dengan orang lain. Menulis membantu kita menghindari lupa dan
memudahkan untuk mengulang kembali ilmu yang telah dipelajari. Lebih dari itu,
menulis juga mempermudah orang lain untuk mendapatkan manfaat dari ilmu yang
telah dituliskan..
Dalam tradisi ulama-ulama dahulu, kegigihan dalam belajar dan menulis bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Buah karya mereka menjadi materi ajar utama dan fondasi teori-teori besar yang kita pelajari hingga saat ini. Fokus dan keseriusan yang istiqomah adalah kunci utamanya. Sebagai contoh, Imamuna Syafi’i, dengan berbagai karya dan gagasan luar biasa yang dihasilkannya, ternyata memiliki kebiasaan sehari-hari yang menunjukkan dedikasi luar biasa terhadap ilmu. sebagai mana disampaikan oleh Muridnya Imam Syafi'e.
قال حرملة: ما رأيت الشافعي إلا يستند الوسادة يقرأ ويكتب
Harmalah mengatakan bahwa setiap kali melewati rumah
Imam Syafi’i, Harmalah tidak pernah melihat beliau kecuali sedang belajar atau
mengarang. Keistiqomahan dalam menjalani rutinitas ilmiah ini adalah kunci
utama yang membawa beliau mencapai tingkat keilmuan yang sangat tinggi.
Keistiqomahan, yang
berarti keteguhan hati dalam menjalankan suatu aktivitas tanpa henti, bukan
hanya menunjukkan kedisiplinan tetapi juga mencerminkan kedalaman komitmen
terhadap ilmu. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah, terutama di tengah-tengah
kehidupan yang penuh dengan distraksi dan tantangan. Imam Syafi’i, dengan
segala kesibukannya, tetap mampu menjaga konsistensi dalam belajar dan menulis.
Beliau membuktikan bahwa meskipun seseorang memiliki banyak peran dan tanggung
jawab, jika dilandasi dengan tekad yang kuat, semua itu dapat diimbangi dengan
produktivitas yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan.
Saat ini, kita bisa
mengambil pelajaran besar dari keteladanan para ulama terdahulu, termasuk Imam
Syafi’i. Dalam dunia yang semakin cepat berubah dan penuh dengan berbagai macam
gangguan, menjaga fokus dan istiqomah dalam menulis dan belajar adalah hal yang
sangat penting. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan informasi, kita
memiliki lebih banyak akses untuk belajar dan berbagi ilmu, namun tidak sedikit
pula yang justru kehilangan arah karena tergoda oleh kemudahan dan kesenangan
sesaat. Oleh karena itu, kita perlu meneladani prinsip-prinsip yang diajarkan
oleh para ulama, agar ilmu yang kita pelajari dapat bermanfaat tidak hanya
untuk diri sendiri, tetapi juga untuk umat.
Menulis, seperti yang
diajarkan oleh Sayyidina Ali dan diilustrasikan oleh Imam Syafi’i, bukan hanya
sekadar aktivitas mentransfer pengetahuan, tetapi juga merupakan cara untuk
mengikat ilmu dalam ingatan dan membagikan manfaatnya kepada orang lain. Dengan
menulis, kita menjaga agar ilmu yang kita pelajari tetap hidup dan terus
berkembang. Seperti mata air yang terus mengalir, ilmu yang dibagikan melalui
tulisan akan memberi manfaat kepada banyak orang, bahkan setelah kita tidak
lagi di dunia ini.
Maka, jika kita ingin
mengikuti jejak para ulama besar, kita harus menumbuhkan semangat istiqomah
dalam diri kita. Belajar dan menulis dengan tekun setiap hari, meski dalam
kesibukan hidup, adalah cara yang paling ampuh untuk meraih ilmu yang
bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi masyarakat. Keistiqomahan ini, yang
telah dicontohkan oleh para ulama seperti Imam Syafi’i, adalah pondasi bagi
perjalanan panjang kita dalam menuntut ilmu dan mengembangkan diri.
Hanya sebatas keinginan jika tidak langsung action. Kalau bisa buat status story setidaknya pasti bisa menulis yang agak panjang
BalasHapus