Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hilangnya Rasa Empati

 

                                                                      Sumber Foto Radar Solo

Empati, sebuah kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, merupakan pondasi utama dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena hilangnya rasa empati di kalangan siswa di sekolah semakin mengkhawatirkan. Salah satu wujud nyata dari hilangnya empati ini adalah munculnya kasus perundungan atau bullying yang berujung pada tragedi, seperti yang terjadi di Padang atas nama Aldelia Rahma (10) siswa sekolah dasar meninggal  dengan gizi buruk akibat luka bakar di sekujur tubuhnya setelah dirundung temannya  (Kompas, 24/05/2024) dan Subang seorang siswa SD berumur sembilan tahun, meninggal setelah tidak sadar selama tiga hari karena pendarahan di otak dengan akibat dipukul tiga kakak kelasnya.  Kasus-kasus ini tidak hanya menyoroti kurangnya kesadaran akan bahaya perundungan, tetapi juga menggambarkan betapa rapuhnya rasa empati di kalangan siswa.

Kasus Perundungan yang Mengguncang

Kasus perundungan di Padang dan Subang mengungkapkan betapa kejamnya perilaku siswa terhadap sesama rekan mereka.  Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perundungan bukan sekadar masalah sosial, tetapi juga masalah serius yang dapat berdampak fatal terhadap kehidupan seorang anak. Mengapa perundungan semacam ini terjadi? Salah satu faktor utama adalah hilangnya rasa empati di kalangan siswa. Sebagian besar siswa yang terlibat dalam tindakan perundungan tidak sepenuhnya menyadari dampak yang ditimbulkan oleh perbuatan mereka terhadap korban. Mereka mungkin merasa superior atau lebih kuat, atau bahkan mungkin melakukannya hanya untuk mencari perhatian teman-teman mereka. Namun, yang sering terlupakan adalah bahwa di balik setiap perundungan ada seorang anak yang menderita, yang merasa dihina, diabaikan, dan bahkan bisa merasa tak berharga.

Faktor Penyebab Hilangnya Empati

Hilangnya rasa empati di sekolah tidak terjadi begitu saja. Ada banyak faktor yang berperan dalam memicu fenomena ini. Salah satunya adalah lingkungan keluarga yang kurang memberikan contoh positif dalam berempati. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan atau kurangnya perhatian terhadap perasaan orang lain cenderung lebih sulit mengembangkan empati. Selain itu, pengaruh media sosial juga sangat kuat. Banyak siswa yang terpapar konten kekerasan, baik melalui film, permainan video, maupun media sosial, yang secara tidak langsung membentuk pandangan mereka tentang bagaimana memperlakukan orang lain.

Selain faktor eksternal, sistem pendidikan yang lebih menekankan pada pencapaian akademik daripada pengembangan karakter juga turut berperan. Kurangnya pendidikan tentang nilai-nilai sosial dan empati di dalam kurikulum membuat siswa kurang terlatih untuk memahami perasaan orang lain dan merespons dengan cara yang positif. Sebagai hasilnya, siswa yang tidak memiliki pemahaman yang baik tentang empati sering kali cenderung acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain, bahkan terlibat dalam tindakan kekerasan.

Langkah Membangun Kembali Empati di Sekolah

Untuk mencegah tragedi seperti yang terjadi di Padang dan Subang terulang kembali, langkah-langkah konkret perlu diambil untuk membangun kembali rasa empati di sekolah. Pendidikan karakter harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah, bukan hanya sekadar pelajaran moral, tetapi juga sebagai tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah perlu menanamkan pentingnya menghargai perasaan orang lain, mengajarkan cara-cara untuk menanggapi perbedaan, dan memberikan pemahaman mendalam tentang dampak perundungan terhadap korban.

Selain itu, peran orang tua juga sangat vital. Keluarga harus menjadi tempat pertama di mana anak-anak diajarkan untuk berempati, mendengarkan, dan saling menghormati. Pendidik dan orang tua perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa anak-anak tidak hanya belajar tentang angka dan huruf, tetapi juga tentang nilai-nilai kemanusiaan yang akan membentuk mereka menjadi individu yang peduli dan peka terhadap perasaan orang lain.

Perundungan tidak akan terjadi jika anak anak mempunyai karakter empati, karakter empati ini tumbuh pertama kali dan berkembang di lingkungan keluarga, kemudian di masyarakat, Pola asuh orang tua sebagai pondasi dasar sangat mempengaruhi terhadap perkembangan anak, begitu juga perilaku tutur kata dan sikap orang orang disekitar anak juga sangat mempengaruhi terbentuknya sikap empati. Namun jika sikap empati sudah tidak terbentuk sekolah tidak bisa menyulap dengan rentan waktu singkat. Sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab memberntuk peserta didik berkualitas, namun itu membutuhkan waktu dan kerja sama dari semua pihak. 

Kasus perundungan yang menewaskan siswa di Padang dan Subang merupakan cermin dari hilangnya rasa empati di sekolah. Untuk mencegah tragedi serupa, kita semua perlu berperan aktif dalam membangun kembali empati di kalangan siswa. Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan karakter, bukan hanya prestasi akademik. Dalam konteks ini, kita dapat merujuk pada konsep Tri Pusat Pendidikan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia. 

Konsep Tri Pusat Pendidikan ini menekankan peran tiga pihak penting dalam mendidik anak: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan harus dilakukan secara bersinergi oleh ketiga pihak ini, masing-masing dengan perannya yang saling melengkapi. Keluarga sebagai tempat pertama di mana nilai-nilai empati dan moral harus ditanamkan, sekolah sebagai tempat pembelajaran yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga karakter, serta masyarakat sebagai lingkungan yang mendukung perkembangan sosial anak. 

Dengan mengadopsi prinsip Tri Pusat Pendidikan ini, kita dapat membangun lingkungan yang lebih peduli, saling menghargai, dan penuh empati. Hanya dengan cara ini, kita bisa menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bijaksana dalam berinteraksi dengan sesama, serta mampu menghindari dan mencegah perundungan yang dapat merusak kehidupan mereka dan orang lain. Dengan upaya bersama, kita dapat mewujudkan sekolah yang aman dan penuh kasih sayang bagi setiap siswa.

2 komentar untuk "Hilangnya Rasa Empati"

  1. Ach. Alfaris maulidi7 Desember 2024 pukul 00.29

    Artikel ini memberikan gambaran yang jelas dan mendalam mengenai hilangnya empati di kalangan siswa, yang berujung pada kasus perundungan yang tragis. artikel ini juga mengusulkan solusi untuk membangun kembali empati di sekolah, seperti memperkuat pendidikan karakter dan melibatkan peran aktif keluarga dan masyarakat. Secara keseluruhan, artikel ini menyentuh isu penting dan memberikan perspektif yang relevan untuk menciptakan generasi muda yang lebih peduli.







    BalasHapus
    Balasan
    1. Empati perlu kita hadirkan kembali melalui ruang ruang yang kita jumpai setiap hari

      Hapus